Pernyataan “Pendidikan Tinggi Sifatnya Tersier” oleh Kemendikbud, Dinilai Tak Jawab Persoalan Mahalnya UKT

Anggota Komisi X DPR RI Andreas Hugo Pareira saat mengikuti Rapat Kerja Komisi X dengan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif atau Kepala Badan Pariwisata Dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahuddin Uno di Gedung Nusantara I, DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (13/3/2024).

ANTARAYA MEDIA – Anggota Komisi X DPR dari Fraksi PDI-P Andreas Hugo Pareira menilai, pernyataan Pelaksana Tugas Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud-Ristek Tjitjik Tjahjandarie bahwa pendidikan tinggi sifatnya tersier dan tidak wajib sama sekali tidak menjawab persoalan mahasiswa.

Adapun persoalan yang dihadapi mahasiswa saat ini, menurut Hugo, adalah tentang tingginya biaya uang kuliah tunggal (UKT).

Bacaan Lainnya

Namun, Tjitjik disebut tidak menjawab persoalan itu. “Ibu Sesdikjen Dikti Kemdikbud ini tidak menjawab persoalan yang dihadapi mahasiswa,” kata Hugo, Jumat (17/5/2024).

Hugo berpendapat agar Kemendikbud-Ristek lebih dulu mendengarkan aspirasi perwakilan kampus melalui Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) atau forum rektor tentang biaya UKT.

Dari situ, Kemendikbud-Ristek wajib memberikan solusi terhadap persoalan tingginya biaya UKT.

Hugo mengaku sudah mendengarkan aspirasi dari kampus-kampus yang mengalami kenaikan UKT secara drastis. Ini didapatnya dalam rapat dengar pendapat di Komisi X beberapa waktu lalu.

“Dari Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi X dan perwakilan BEM beberapa kampus yang mengalami kasus kenaikan UKT dan IPI (Iuran Pengembangan Institusi) yang sangat drastis ini, menurut saya disebabkan oleh ruang regulasi yang diberikan oleh Permendikbud Nomor 2 tahun 2024 dan Kepmendikbud Nomor 54 / P/ 2024,” ucap politikus PDI-P ini.

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim mengeluarkan Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT) pada Perguruan Tinggi Negeri atau PTN di Lingkungan Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset dan Teknologi.

Hugo menyoroti salah satu poin berkaitan dalam salah satu pasal bahwa biaya UKT ditetapkan setelah mahasiswa diterima. Poin itu dianggap rentan menjadi polemik bagi masyarakat.

“Oleh karena itu, menurut saya perlu ditinjau kembali beberapa pasal dalam Permendikbud tersebut yang memberikan kewenangan yang terlalu besar kepada PTNBH (Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum) dan PTNBLU (Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum) untuk secara leluasa menafsirkan pembiayaan Pendidikan Tinggi di kampus-kampusnya dan membebankan kepada mahasiswa,” tutur dia.

Sebelumnya diberitakan, Kemendikbud-Ristek mengatakan bahwa pendidikan di perguruan tinggi bersifat tersier.

Hal tersebut dipaparkan Tjitjik Tjahjandarie. Menurut dia, pendidikan di perguruan tinggi hanya ditujukan bagi lulusan SMA, SMK, dan Madrasah Aliyah yang ingin mendalami lebih lanjut suatu ilmu.

“Tetapi dari sisi yang lain kita bisa melihat bahwa pendidikan ini adalah tersiery education.
Jadi bukan wajib belajar,” kata Tjitjik di Kantor Kemendikbud Ristek, Jakarta Selatan, Rabu (15/5/2024).

Tjitjik mengatakan, tidak semua lulusan SMA, SMK, dan Madrasah Aliyah harus melanjutkan pendidikannya perguruan tinggi karena sifatnya adalah pilihan.

Meski demikian, kata Tjitjik, pemerintah tetap berusaha untuk memberikan akses pendidikan tinggi ke semua kalangan masyarakat baik yang mampu atau tidak.

Salah satu caranya dengan mewajibkan perguruan tinggi negeri (PTN) untuk membuat kelompok dalam penentuan UKT mahasiswa.

PTN wajib menerapkan biaya UKT paling kecil sebesar Rp 500.000 untuk kelompok satu dan Rp 1 juta untuk kelompok dua. “Dari kelompok UKT dua ke ketiga biasanya tidak naik signifikan,” ujarnya. (**)

Pos terkait