Oleh: Wahyu Hidayat / Dosen Universitas Cokroaminoto Palopo
BERITA demi berita kekerasan yang kita baca atau dengar akhir-akhir ini sungguh memilukan hati dan menimbulkan keprihatinan yang mendalam. Seorang remaja berusia 14 tahun di Cilandak membunuh ayah dan neneknya serta menikam ibunya. Sebelumnya, seorang polisi menembak rekannya hingga tewas. Di tempat lain, beberapa siswa tega membully teman mereka di ruang kelas tanpa menunjukkan rasa empati. Agil Febriyan, seorang siswa SMK di Bogor, dibunuh temannya sendiri.
Yang terbaru, seorang polisi di Bogor membunuh ibu kandungnya.
Apa yang sebenarnya terjadi di tengah masyarakat kita? Mengapa orang begitu mudahnya menghilangkan nyawa sesamanya? Padahal nilai-nilai agama sudah diajarkan sejak dini. Begitu juga dengan Pendidikan Pancasila, yang menekankan pada kemanusiaan yang adil dan beradab, juga diajarkan di sekolah. Tetapi mengapa kekerasan terus terjadi? Apa akar masalahnya?
Pergeseran Nilai dalam Masyarakat
Kita hidup di era di mana perkembangan teknologi dan media sosial telah mengubah banyak hal, termasuk cara kita berinteraksi dan memahami nilai-nilai kehidupan. Anak-anak sekarang tumbuh di lingkungan yang begitu cepat menyerap informasi, namun sayangnya, tidak semua informasi tersebut membawa nilai positif. Kekerasan yang ditampilkan di media menjadi konsumsi sehari-hari, menjadikan empati dan kemanusiaan perlahan tergerus.
Di sisi lain, pengaruh globalisasi sering kali meminggirkan nilai-nilai lokal yang selama ini menjadi perekat moral masyarakat kita. Budaya gotong royong, rasa hormat pada orang tua, dan solidaritas sosial mulai terkikis. Akibatnya, anak-anak kehilangan pegangan moral yang kokoh, meski pendidikan agama dan nilai-nilai Pancasila sudah diajarkan di sekolah.
Pola Asuh dan Sistem Pendidikan
Jika kita mencoba menelaah akar permasalahannya, terdapat beberapa faktor penyebab yang patut menjadi perhatian. Penyebabnya adalah krisis keluarga dan pola asuh serta sistem pendidikan yang kurang holistik.
Terkait pola asuh keluarga, banyak orang tua, terutama di perkotaan, terlalu sibuk dengan pekerjaan mereka sehingga gagal memberikan perhatian emosional yang cukup kepada anak-anak. Akibatnya, anak mencari pelarian di dunia maya atau kelompok pertemanan yang tidak selalu mendukung perkembangan moral yang sehat. Dalam kasus kekerasan anak, sering ditemukan bahwa pelaku tumbuh di lingkungan keluarga yang penuh konflik atau minim kasih sayang.
Keluarga seharusnya menjadi benteng pertama dalam membangun karakter anak. Namun, apa yang terjadi jika keluarga justru menjadi sumber stres dan trauma? Ketika nilai cinta, pengertian, dan empati tidak hadir di rumah, anak-anak akan mencari pengaruh lain yang sering kali merusak.
Kemudian masalah Pendidikan. Pendidikan di sekolah sering kali terlalu berfokus pada pencapaian akademis dan mengabaikan aspek emosional dan sosial. Pendidikan karakter, meskipun tercantum dalam kurikulum, sering kali hanya menjadi formalitas belaka.
Anak-anak tidak diajarkan secara mendalam bagaimana mengelola emosi, menghormati perbedaan, atau menyelesaikan konflik tanpa kekerasan. Guru, yang seharusnya menjadi teladan moral, sering kali juga terbatas oleh beban kerja administratif dan tekanan untuk mengejar target akademis. Padahal, sekolah seharusnya menjadi ruang yang aman bagi anak-anak untuk belajar nilai-nilai kemanusiaan.
Peran Keluarga, Sekolah, Media, dan Pemerintah
Untuk mengatasi fenomena ini, kita memerlukan pendekatan holistik yang melibatkan semua elemen bangsa. Pertama, menguatkan peran keluarga. Orang tua harus kembali memahami peran penting mereka sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak-anak. Libatkan anak dalam percakapan bermakna setiap hari. Ajarkan mereka tentang pentingnya empati dan bagaimana mengelola emosi.
Kedua, penguatan pendidikan karakter. Saya menyambut baik program utama Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) yang disampaikan oleh Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, di hadapan anggota Komisi X DPR RI, Rabu (6/11) lalu. Dari enam program tersebut, Pak Menteri menempatkan pendidikan karakter sebagai prioritas utama. Kita harus mengakui bahwa selama ini pendidikan karakter sering kali hanya berhenti di ranah teori. Anak-anak diajarkan nilai-nilai kebaikan, tetapi kurang dalam penerapannya.
Ketiga, media yang bertanggung jawab. Media harus lebih berhati-hati dalam menampilkan kekerasan. Media memiliki tanggung jawab moral untuk meminimalkan dampak buruk dari konten yang disajikan, terutama kekerasan yang dapat memengaruhi anak-anak. Saya mengajarkan mata kuliah Citizen Journalism atau jurnalisme warga. Kepada mahasiswa saya selalu menekankan pentingnya bersikap bijak dalam bermedia sosial. Sebagai jurnalis warga, mahasiswa dapat memanfaatkan teknologi, seperti media sosial, untuk menyebarkan nilai-nilai positif, seperti toleransi, cinta damai, dan kasih sayang.
Fenomena kekerasan yang kian marak bukan hanya masalah individu, tetapi cerminan dari krisis nilai yang sedang melanda masyarakat kita. Mengatasinya membutuhkan kerja sama antara keluarga, sekolah, media, dan pemerintah. Nilai-nilai kemanusiaan harus ditanamkan sejak dini, tidak hanya diajarkan, tetapi juga dipraktikkan dalam setiap aspek kehidupan. ***