ANTARAYA MEDIA, LUWU – Di balik rimbunnya perkebunan kakao di Kelurahan Larompong, Kecamatan Larompong, Kabupaten Luwu, tersembunyi sebuah tantangan klasik: tumpukan limbah kulit buah kakao pasca panen. Namun, dari masalah itulah kini bersemi sebuah revolusi hijau yang menjanjikan.
Sebagai salah satu sentra produksi biji kakao di Kabupaten Luwu, kelompok tani di Kelurahan Larompong turut terdorong meningkatkan hasil panen akibat lonjakan harga kakao. Sayangnya, naiknya produksi biji kakao juga berarti semakin banyak limbah pasca panen yang menumpuk di areal perkebunan.
Sekitar 78% limbah terdiri dari 75% kulit buah dan 3% plasenta biji yang dihasilkan setiap musim panen. Jika tidak ditangani, limbah ini dapat menjadi sumber masalah serius bagi ekosistem.
Limbah yang dibiarkan membusuk dalam kondisi lembab memicu tumbuhnya jamur saprofit dengan morfologi beragam. Jamur ini dapat menginisiasi penyakit kanker batang pada kakao, serta menimbulkan bercak cokelat pada buah yang berkembang menjadi busuk buah hitam.

Andi Anton, salah satu petani kakao di Larompong, mengeluhkan hal ini.“Yang diserang tidak hanya buah yang besar (matang) tapi juga pada buah muda dan yang masih kecil-kecil,” ujarnya.
Transformasi Limbah dengan Konsep Zero Waste
Melalui program Zero Waste pertanian, para petani dilatih mengolah limbah kulit buah kakao menjadi kompos. Proses pencacahan kulit kakao yang keras menggunakan mesin khusus, lalu difermentasikan dengan bio-aktivator hingga menjadi pupuk organik.
Program ini berlangsung pada 7 Juni–9 Agustus 2025 dan merupakan bagian dari Pengabdian kepada Masyarakat (PKM) Universitas Cokroaminoto Palopo (UNCP).
Konsep zero waste pertanian ini sejalan dengan Asta Cita 2 dan 4 dalam prioritas nasional RPJMN 2025–2029, yang mendukung pengembangan ekonomi hijau. Program ini dijalankan oleh tim dosen UNCP, yakni Ulfah Zakiyah Hamdani, M.Sc. (Kimia), Rosmalah Yanti, M.Pd. (Pendidikan Dasar), dan Dr. Eka Pratiwi Tenriawaru, M.Pd. (Mikrobiologi), dengan dukungan alumni serta mahasiswa.
Rudianto Muchtar, tokoh masyarakat sekaligus anggota kelompok tani, menyambut positif kegiatan ini.
“Kegiatan ini menjadi bukti nyata kita sebagai masyarakat dalam mendukung program pemerintah untuk mengatasi permasalahan penumpukan sampah pertanian,” katanya.
Bapak Wahid, petani lainnya, menambahkan bahwa mesin pencacah yang diberikan telah dimanfaatkan secara optimal.
“Mesin pencacah yang diberikan telah digunakan untuk memproduksi kulit buah kakao cacah yang siap difermentasikan menjadi kompos,” jelasnya.
Selain mesin pencacah, para petani juga menerima berbagai alat dan bio-aktivator yang dapat menunjang keberlanjutan program ini.
Dampak Nyata di Lapangan
Sejak program berjalan, laporan terkait serangan penyakit busuk buah hitam mulai berkurang. Andi Muliati, anggota kelompok tani, turut merasakan manfaatnya.
“Dengan adanya pelatihan ini, limbah kulit buah kakao dapat menjadi sumber olahan kompos yang dapat dimanfaatkan untuk menyuburkan tanaman cabai di pekarangan rumah,” ujarnya.
Lebih dari itu, pelatihan ini juga mendorong praktik jual beli limbah pasca panen di antara anggota kelompok tani, mulai dari kulit buah hingga plasenta biji. Hal ini membuka peluang ekonomi baru sekaligus menjadikan limbah sebagai sumber daya bernilai. (hms)






