Demokrasi dan Mimpi-Mimpinya

ANTARAYA MEDIA, Demokrasi dan mimpi-mimpinya membincangkan demokrasi di warung kopi dengan beragam prespektif, dan identitas yang berbeda, serta mengkritisi gagasan sana sini tak jadi persoalan, dengan gagasan yang kontra tidak menjadi persoalan bagi kami, serta kritik atas gagasan yang di putuskan juga tak jadi persoalan. Sebab bagi kami dikritisi itu adalah sebuah alarm refleksi atas sebuah gagasan yang di bangun.

Diskusi demokrasi memang selalu menjadi diskusi yang menarik, sebab hiruk pikuk kenegaraan selalunya dianggap sebagai biang kerok dari demokrasi, namun pada saat menelusuri konsep demokrasi jauh berbeda dengan praktek demokrasi di Indonesia. Bahkan hampir mirip dengan monarki absolut atau praktek demokrasi di Indonesia terjadi over demokrasi.

Bacaan Lainnya

Memahami konsep demokrasi dengan menelaah secara definisinya, dimana rakyat adalah penguasa tertinggi dalam sebuah negara, oleh karena itu menempatkan rakyat pada kedudukan sesuai dengan konsep dan prakteknya.

Diskusi kami di warung kopi itu, di Indonesia secara konstitusi mengakui soal demokrasi dengan memasukkan dalam pasal 28 yang menjamin hak-hak warganya, pasal 28 E setiap orang di berikan kebebasan memilih agama, pekerjaan, wilayah dan tempat tinggalnya, serta sampai pada kebebasan berpendapat.

Menelaah secara substansi hal diatas telah tergambar secara jelas soal demokrasi, dengan demikian makna demokrasi sudah menjadi sesuatu sistem yang di putuskan untuk di jalankan secara konsep yang di bangun oleh pemerintahan.

Gagasan pertama dari seorang kawan saya menggambarkan bahwa, negara Indonesia perhari ini mengalami situasi demokrasi yang entah disorientasi demokrasi atau degradasi demokrasi secara nilai, sebab dalam realitas kehidupan terjadi demokrasi oligapolistik, yang didominasi oleh sandaran proseduralnya disandarkan pada nominalisasi uang, orang bisa menjabat harus punya modal besar.

Sementara gagasan kedua menganggap bahwa terjadi kewenangan yang berlebihan, dari kewenangan yang berlebihan tersebut hingga berimplikasi pada pengekangan demokrasi dengan beberapa kebijakan, kebijakan yang antara lain ialah tafsir atas ujaran kebencian yang ketika dianalisis dalam pendekatan politik adalah sebuah kebijakan yang berupaya menjaga kewenangannya untuk tidak di kritisi.

Demokratisasi yang ideal adalah memberikan hak kepada seluruh masyarakat untuk bebas mengekspresikan dirinya baik membebaskan masyarakat untuk mengekspresikan pendapatnya untuk pemerintah serta juga beberapa kebebasan yang lainnya.

Olehnya Karena, diskusi kami ini lahir dari sebuah situasi yang kami alami dan peroleh secara langsung baik yang kami rasakan dan kami liat di beberapa media yang tersebar serta membaca putusan-putusan yang mengekang substansi demokrasi.

Bagi kami demokrasi yang baik adalah ketika sebuah sistemnya dijalankan pada fungsi yang substansial, dengan kerangka prosedural. Bukan yang prosedural yang mengingkari substansial. Proses demokratisasi menekankan pentingnya pendidikan kebebasan tapi tidak mengingkari nilai luhur budaya (kebudayaan).

Keluhuran demokrasi bukan ada pada sebuah prosedural semata namun keluhuran demokrasi adalah ketika sebuah masyarakat tidak takut mengkritisi sebuah sistem dalam negara yang dianggapnya tak bermanfaat bagi banyak orang serta membuka ruang partisipasi masyarakat (inklusif).

Dalam diskusi tersebut kami membayangkan demokrasi seperti diatas, dengan wajah yang terbuka (inklusif), tidak dengan ketertutupan sampai pada penjarahan terhadap masyarakat yang mengkritisi sebuah sistem pemerintahan.

Diskusi ini lahir dari sebuah diskusi di warung kopi, entah karena sebuah quote warkop yaitu ketika otak perlu inspirasi, mungkin inspirasi atas demokrasi itu hadir karena minum kopi dengan filosofinya, olehnya itu diskusi tersebut upaya untuk mempertahankan nilai luhur demokrasi, sala satu cara untuk mempertahankan nilai luhur demokrasi adalah mendiskusikannya sebab hal yang kami sadari bahwa yang bisa dilakukan adalah mendiskusikan konsep ideal dari demokrasi.

(Arya G.)

Pos terkait